Film Dokumenter “Tanah Tua” Angkat Kearifan Lokal Adat Kajang dengan Dukungan BPK XIX


HARAPANBARU.NET, Bulukumba, Sulawesi Selatan — Di tengah hutan rimbun Kajang, suara langkah yang menapak tanah merah seperti membisikkan kisah lama.

Dari sanalah lahir Tanah Tua: Yang Tak Terlihat oleh Kota, sebuah film dokumenter garapan tim produksi muda Universitas Hasanuddin, yang mengangkat kearifan lokal masyarakat adat Tana Toa Kajang.

Film berdurasi 10–15 menit ini tidak sekadar menampilkan potret kehidupan sehari-hari, tetapi juga merekam denyut nadi budaya yang masih bertahan di tengah arus modernisasi.

Didukung fasilitasi Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX (BPK XIX) melalui program Bantuan Fasilitasi Produksi Konten Kebudayaan (FPK) 2025, film ini diharapkan menjadi jembatan antara tradisi tua dan generasi baru.

Jejak Pasang ri Kajang dalam Bingkai Kamera

Sutradara Azhari Syarif memilih Ikhsan—cucu mantan Amma Toa, pemimpin adat tertinggi Kajang—sebagai tokoh sentral. Sosok Ikhsan hadir sebagai representasi generasi penerus yang menapaki jejak leluhurnya.

“Lewat film ini kami ingin mengarsipkan budaya Kajang serta menyampaikan pesan penting tentang pelestarian tradisi dan lingkungan,” kata Azhari. “Prosesnya melibatkan riset, wawancara dengan tokoh adat, hingga dokumentasi aktivitas sehari-hari.”

Pasang ri Kajang, ajaran lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi, menjadi nadi utama film ini. Nilai-nilainya mengatur hubungan manusia dengan sesama, dengan tanah, dan dengan semesta—sebuah filosofi hidup yang mulai jarang terdengar di kota.

Sejarah yang Tersingkap

Tak hanya visual kehidupan adat, Tanah Tua juga menggandeng sejarawan Dr. Amrullah Amir, M.A., Ph.D., Ketua Program Studi Magister Sejarah Universitas Hasanuddin. Lewat penjelasannya, penonton diajak menelusuri sejarah panjang Kajang: dari perlawanan budaya, dinamika sosial Bulukumba, hingga kaitan eratnya dengan politik dan kolonialisme di Sulawesi Selatan.

Dengan begitu, film ini tidak hanya merekam yang kasat mata, tetapi juga menyibak lapisan sejarah yang jarang tersentuh.

Dari Kajang ke Layar Digital

Proses produksi dimulai sejak Juli 2025, meliputi pra-produksi, pengambilan gambar di kawasan adat Kajang dan Kota Bulukumba, hingga pascaproduksi berupa penyuntingan visual, perekaman voice-over, dan penggarapan desain suara yang membalut suasana tradisi.

Film ini dijadwalkan tayang perdana pada 3 November 2025 melalui kanal YouTube resmi BPK XIX, sebelum kemudian diputar di festival film dokumenter dan dijadikan bahan edukasi di sekolah serta komunitas budaya.

Dukungan BPK XIX: Menjaga Warisan, Mendorong Kreativitas

Kepala BPK XIX menyebut karya seperti ini sebagai bukti nyata peran generasi muda dalam merawat kearifan lokal.

“Kami mendorong anak muda untuk terus berkarya. Film dokumenter kebudayaan bukan hanya dokumentasi, tetapi juga memperkuat identitas nasional dan kesadaran publik akan keberagaman Indonesia,” ujarnya.

Program FPK 2025 sendiri memang dirancang untuk mendukung sineas muda, komunitas seni, dan pelaku budaya dalam menciptakan karya yang memiliki kualitas artistik sekaligus edukatif.

Warisan yang Menghidupkan Dialog

Tanah Tua: Yang Tak Terlihat oleh Kota diharapkan mampu membuka ruang diskusi tentang bagaimana komunitas adat menghadapi modernisasi.

Lebih dari sekadar dokumentasi, film ini menjadi pengingat bahwa warisan budaya bukan hanya untuk disimpan, melainkan juga untuk dihidupkan kembali dalam percakapan generasi masa kini. (red)*

Exit mobile version