HARAPANBARU.NET,_Gunung Bawakaraeng, 17 Agustus 2025 – Kabut tipis bergulir di antara tebing dan jurang, angin gunung berdesir membawa dingin yang menggigit.
Namun di puncak Gunung Bawakaraeng, 2.830 mdpl, ribuan pendaki dari berbagai penjuru daerah bersatu dalam satu rasa: khidmat menyaksikan Sang Merah Putih raksasa—berukuran 14 x 30 meter dengan bobot 60 kilogram—berkibar gagah menembus langit.
Dentuman lagu Indonesia Raya menggema, mengguncang dada para pendaki. Ada yang menitikkan air mata, ada pula yang berdiri tegak dalam diam.Semua larut dalam gelombang nasionalisme di Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia.
Dibalik Kibaran: Bendera Raksasa dari Tangan Pemuda Bulukumba
Tak banyak yang tahu, bendera raksasa ini lahir dari tangan sederhana seorang pemuda Bulukumba. Namanya Radit, putra Desa Tanah Harapan, Kecamatan Rilau Ale.
Dengan mesin jahit seadanya, ia merenda mimpi sejak 2016—menyatukan potongan kain hasil patungan sesama pencinta alam Bulukumba.“Bendera ini saya jahit sendiri, dengan niat untuk menjadi simbol cinta tanah air,” ujar Radit lirih, mengenang perjalanan panjang Merah Putih itu.
Jejak Panjang Merah Putih Radit
Bendera karya Radit bukan sekadar kain yang berkibar sekali lalu usai. Ia menyimpan jejak perjalanan:
2016: Pertama kali berkibar di tebing Bijawang.
2020: Menembus sunyi pandemi, dikibarkan di puncak Gunung Bawakaraeng.
2024: Menyapa angin di Puncak Bangkeng Buki (Tower).
2025: Kembali menantang kabut Bawakaraeng, kali ini bersama ribuan pendaki dari Sulawesi Selatan hingga luar daerah.
“Alhamdulillah, pengibaran bendera terpanjang berhasil kami kibarkan di Puncak Gunung Bawakaraeng. Ini kali kedua di puncak ini. Antusiasme ribuan pendaki luar biasa, semua bersatu menyanyikan Indonesia Raya dengan penuh khidmat,” tutur Radit penuh haru.
Merawat Simbol, Menjaga Makna
Bagi Radit dan kawan-kawan pencinta alam Bulukumba, Merah Putih bukan sekadar simbol. Ia adalah amanah.
Lebih dari Sekadar Upacara“Setiap selesai dikibarkan, bendera ini tidak langsung disimpan. Kami cuci bersih, jemur hingga kering, lalu simpan dengan baik. Karena bendera ini bukan milik saya semata, tapi milik kita semua,” ungkapnya.
Selain itu, Salah satu pemerhati lingkungan Bulukumba, Syahrul, menilai momen ini bukan sekadar upacara, melainkan pesan moral dari generasi muda.
“Mengibarkan bendera di puncak gunung adalah simbol perjuangan. Butuh tenaga, kebersamaan, dan tekad. Itulah makna kemerdekaan yang sesungguhnya—bahwa kebebasan tidak datang dengan mudah, melainkan dengan pengorbanan,” jelasnya.
Dan hari itu, Gunung Bawakaraeng menjadi saksi bisu. Dari tangan seorang anak desa di Bulukumba, Merah Putih menjulang tinggi, mengikat ribuan hati dalam satu rasa: Indonesia yang tak pernah menyerah. (red)*