HARAPAN BARU.NET, Bulukumba, 24 Agustus 2025 – Suara bambu yang bergemerisik di Desa Bontonyeleng, Bulukumba, menjadi saksi lahirnya sebuah gerakan pendidikan alternatif.
Sekolah Anak Desa (SaESA) memperkenalkan TALKs: Meluaskan Kesadaran, sebuah forum yang bukan sekadar ruang diskusi, tetapi juga pintu harapan bagi masa depan anak-anak desa.
Gerakan ini lahir dari kegelisahan. Terlalu banyak anak desa yang merasa pendidikan adalah pintu yang tertutup.
Terlalu sering mereka dipinggirkan oleh sistem yang hanya mengenal angka, nilai, dan gelar.SaESA hadir untuk menantang stigma itu—membuktikan bahwa sekolah tidak selalu harus berdinding beton, melainkan bisa tumbuh di bawah bambu, di halaman tanah, dengan kertas daur ulang, bahkan di tengah masyarakat adat.
Pendidikan yang Dekat dengan Kehidupan
Dalam TALKs kali ini, beragam kegiatan digelar sepanjang hari, mulai dari diskusi publik bersama Stany Melisa, sesi Membaca Hening dengan Rumah Buku SaESA, hingga Workshop Zine bersama Gelar Zine Fest.
Ada pula obrolan seputar seni bersama Muh. Alif Dermawan, ketua umum SSB Batugatumbing, serta pengalaman kreatif Di Bawah Suasana Daur Ulang Kertas bersama komunitas Siring Bambu.Acara yang berlangsung dari pagi hingga senja itu ditutup dengan musik, namun semangatnya jelas tidak berhenti di sana. Suara pendidikan yang bebas terus bergema di desa.
Di tengah acara, seorang anak dari MTS Guppi Bontonyeleng bertanya polos: “Acara apa ini, Kak? Bisa baca buku gratis?” Pertanyaan sederhana, namun penuh makna.
Dari situlah SaESA menemukan rohnya: pendidikan harus gratis, bebas, dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.“Pendidikan adalah Senjata”
Pendiri SaESA, Musakkir Basri, menegaskan bahwa gerakan ini bukan sekadar kegiatan seremonial.
“Kegiatan ini adalah cara kami mengumpulkan orang-orang yang sadar. Pendidikan adalah senjata untuk menyelamatkan anak-anak desa dari jurang kesenjangan. Membaca di sini tidak menunggu izin siapa pun. Siapapun boleh memilih buku, lalu tenggelam dalam hening,” ujarnya.
Semangat itu kemudian diwujudkan dalam SuarAsaESA—sebuah ruang untuk bersua, bersuara, dan me’rasa’ bersama mereka yang pernah dipaksa berhenti sekolah. Di ruang terbuka itu, kesadaran disebarkan seperti benih yang ditiup angin.
Agustus, Bulan Kemerdekaan dan Kelahiran Gerakan
Bagi SaESA, Agustus bukan hanya bulan kemerdekaan bangsa, tetapi juga momentum lahirnya kesadaran baru: bahwa pendidikan adalah hak semua anak desa.
“Kami ingin SuarAsaESA menjadi pintu. Pintu menuju kesadaran bahwa pendidikan adalah hak semua anak desa. Kami percaya mimpi itu bukan utopia. Mimpi itu bisa diwujudkan,” tutup Musakkir Basri.
SaESA telah menyalakan obor kemerdekaan sekolah alternatif. Kini, pertanyaannya tinggal satu: apakah kita mau ikut menjaga cahayanya dan meluaskan kesadaran? (red)*